A. Mitos-mitos
tentang upah
Mitos 1: Upah adalah Harga
Keringat Buruh
Pengertian
yang banyak diterima umum mengenai upah adalah bahwa “upah” merupakan imbalan dari kerja yang diberikan buruh pada pengusaha.
Dengan kata lain, pengusaha “membeli” kerja buruh. Namun argumen yang masuk
akal ini dan bersahaja ini sesungguhnya mengandung banyak kesalahan dan
akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja.
Mari
kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini. Pertama, kerja bukanlah komoditi (barang dagangan) seperti yang
biasa kita kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita.
Namun, demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang
proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses
produksi itu menjadi sebuah tambahan
nilai pada produk yang
dihasilkan. Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan pada majikan kita.
Jika
benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia akan membayar sebesar nilai
yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika kita mau ambil kesejajaran
dengan agak menyederhanakan persoalan, kita bisa membandingkan proses
pembentukan harga ini dengan harga benda-benda aji yang konon dapat memberi
kekayaan pada pemiliknya. Sebuah keris yang disebut bertuah dapat dihargai
jutaan, bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli
berkeyakinan bahwa besi aji itu dapat memberinya kekayaan. Namun, buruh (yang
sudah pasti akan memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta
rupiah – melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak
benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya melainkan membeli tenaganya
untuk digunakan menghasilkan nilai tambah (nilai lebih)
pada product.
pada product.
Mitos 2: Upah sesuai
Keterampilan
Sekalian
bicara tentang Upah Minimum. Inilah faktor kesalahan kedua dari argumen yang
biasa kita pahami tentang upah. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, maka
ia akan memberi upah sesuai dengan ketrampilan yang kita miliki. Tapi, bukan
itu yang kita temui dalam praktek. Kenyataannya, pengusaha selalu berusaha
menghitung upah buruh berdasarkan kebutuhan hidup-nya. Mau itu disebut Kebutuhan Fisik Minimum,
Kebutuhan Hidup Minimum, atau Kebutuhan Hidup Layak – tetap kebutuhan yang menjadi dasar perhitungan, bukan keterampilan.
Di
samping itu, tingkat kebutuhan yang diakui oleh pengusaha, telah terbukti,
tergantung pada negosiasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan pengusaha. Jika kita
bicara tentang negosiasi atau perundingan, kita bicara tentang perimbangan
kekuatan antar pihak-pihak yang berunding. Kita juga sudah lihat bagaimana
perjuangan untuk upah biasa melibatkan demonstrasi dan mogok kerja yang
ditujukan untuk menekan lembaga-lembaga publik (negara) yang berwenang
menetapkan upah. Dengan demikian, bukan nilai “kerja” yang menjadi landasan
bagi penentuan upah, melainkan tingkat kebutuhan paling minimum buruh.
Mitos
3: Upah harus disesuaikan dengan Hukum Pasar
Adanya
negosiasi upah dan diakuinya anggapan umum bahwa kerja adalah sebuah “komoditi”
menimbulkan kesalahan yang ketiga, yakni anggapan bahwa dalam penentuan nilai
kerja (=upah) berlaku hukum pasar, yakni permintaan dan penawaran. Padahal,
dalam pengalaman praktek sehari-hari serikat buruh, bukan hukum pasar ini yang
berlaku dalam perundingan. Melainkan di mana serikat buruhnya kuat, upah dan
jaminan sosial lainnya pasti diberikan secara penuh – tidak jarang bahkan masih
dilebihkan.
Namun,
di mana serikat lemah, hampir bisa dipastikan bahwa kesejahteraan juga tidak
terjamin. Selain dari persoalan kekuatan serikat, yang artinya seberapa kuat
posisi tawar buruh, upah yang tinggi biasanya ditemui di perusahaan-perusahaan
besar yang menghasilkan keuntungan luar biasa besar. Pada kasus seperti ini,
pengusaha membagi sedikit keuntungan yang diperolehnya pada buruh. Dengan kata
lain, tinggi-rendahnya upah tidak tergantung pada pasokan dan permintaan
ketenagakerjaan, melainkan pada seberapa mampu buruh menekan pengusaha agar
membagi keuntungan mereka pada buruh.
Dengan
argumen palsu itu, pengusaha dapat menerapkan berbagai sistem yang
menguntungkan mereka. Yang pertama berkaitan dengan masalah “produktivitas”.
Dengan alasan bahwa mereka sedang “membeli kerja”, pengusaha berusaha menekan
buruh agar berproduktivitas setinggi mungkin. Entah dengan tekanan dan ancaman,
atau dengan pemberian insentif, pengusaha berusaha memeras keuntungan semakin
banyak dari keringat buruhnya. Padahal, kita sudah lihat bahwa mereka hanya
memberi upah sebatas “kebutuhan hidup”. Sekalipun ada insentif, jumlahnya
pastilah sangat jauh di bawah nilai tambah yang kita berikan pada pengusaha
lewat kerja kita. Di samping itu, dengan bekerja melebihi batas kemampuan fisik
dan mentalnya, seorang buruh justru memperpendek usia produktivitasnya sendiri.
Kelelahan memicu penyakit dan penuaan dini. Selain daripada itu, semakin
panjangnya waktu yang dihabiskan di tempat kerja (misalnya karena lembur), akan
membuat keluarga tidak terurus – satu sumber stress dan tekanan lain bagi
kesejahteraan buruh.
Untuk
memberi kesan bahwa pengusaha sungguh-sungguh membeli keterampilan, kini
diterapkan komponen upah tambahan berdasarkan sektor. Sektor-sektor yang
dianggap membutuhkan ketrampilan tinggi akan mendapatkan upah minimum sektoral
yang lebih tinggi dari sektor-sektor industri berteknologi rendah. Peraturan
ini tengah diterapkan, misalnya saja, pada sektor otomotif. Namun, ukurannya
kemudian menjadi rancu karena penentuan sektoral itu ditentukan oleh seberapa
tinggi teknologi yang diterapkan oleh industri – bukan oleh seberapa terampil
buruhnya. Satu pertanyaan sederhana: apakah seorang buruh bangunan yang
menggunakan peralatan sekedarnya memang kurang terampil dibandingkan seorang
operator robot pembuat mobil? Seorang buruh bangunan harus mengerahkan segenap
ketrampilannya untuk membuat bangunannya kokoh dan dapat bertahan lama,
sementara seorang operator robot cukup menekan beberapa tombol untuk
menggerakkan robotnya. Siapapun yang pernah mencoba memasang sendiri ubin
keramik (tanpa memanggil tukang) pasti tahu betapa sulitnya pekerjaan itu, dan
betapa pekerjaan yang kelihataannya sederhana itu ternyata membutuhkan
ketrampilan yang amat tinggi. Terlebih jika tidak memiliki peralatan yang memadai.
Semakin tinggi teknologi, justru tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk
mengoperasikannya semakin rendah.
Dan
melalui anggapan bahwa dalam penentuan upah berlaku hukum pasar, kelas
pengusaha kemudian melancarkan tuduhan bahwa serikat buruh merupakan sebuah
kekuatan yang “mendistorsi pasar” – dengan kata lain, serikat buruh adalah
sebuah kekuatan monopoli, yang harus dihapuskan, sehingga sistem persaingan
pasar dapat berjalan dengan lancar. Kenyataan yang kita temui, setelah serikat
dibubarkan, pengusaha melakukan tawar-menawar dengan intimidasi: “kalau kamu
tidak mau menerima tingkat upah yang kami tawarkan, masih banyak orang lain
yang kini menganggur ingin juga bekerja di sini.” Dengan kata lain, “hukum
pasar” pada prakteknya adalah alat intimidasi agar buruh mau menerima tingkat
upah yang murah. Hukum Pasar bukanlah sebuah hukum alam, atau hukum yang
berlaku secara objektif, melainkan sebuah akal-akalan karangan pengusaha agar
dapat menekan tingkat upah buruh.
B. Upah Relatif Nasional menuju upah layak nasional .
Konsep
Upah Relatif Nasional hadir sebagai bagian praisi ekonomi suatu Negara termasuk
harga-harga kebutuhan hidup tidak lagi semata-mata bergantung pada proses
tawar-menawar antara penjual dan pembeli pada suatu daerah maupun suatu negara.
Sehingga
sejatinya penentuan nilai upah pada masa kapitalisme saat ini hanyalah
berdasarkan harga untuk dapat menghadirkan buruh pada proses produksi keesokan
harinya, yang dihitung adalah nilai minimum kebutuhan fisik seorang buruh untuk
dapat tetap memiliki tenaga dan pikiran dalam menjalankan proses produksi,
sedangkan apabila sudah dapat memenuhi minimum soal kebutuhan mental dan
keluarga maka hal tersbut sudah masuk pada kategori layak.
Pada
kategori upah seperti selama ini telah menghasilkan banyak kelas buruh yang
sakit secara fisik (kecelakaan kerja, sakit fisik saat masa kerja, maupun sakit
fisik saat sudah tidak ada lagi hubungan kerja tetapi sesungguhnya disebabkan
oleh kerja pada masa sebelumnya) maupun sakit secara mental (tidak peduli secara
sosial pada keluarga inti, keluarga besar maupun pada lingkungan masyarakat,
kerja menjadi tujuan hidup). situasi demikian semakin meng-alienasi-kan
(mengasingkan) kaum buruh baik atas hasil kerjanya, atas lingkungan sosialnya
sampai apada alienasi atas dirinya sendiri.
syarat
pemenuhan dan pematangan perjuangan Upah Layak Nasional ditengah-tengah system
ekonomi dunia yang semakin terglobalisasi dibawah kekuasaan kelas modal, dimana
kond
Upah
Relatif Nasional (URN) merupakan perlindungan hak kaum buruh atas kualitas
nilai upah (nominal&riil) untuk mendapatkan kepastian hidup layak bagi kaum
buruh dan keluarganya. Ada beberapa tujuan dari Upah relatif nasional
diantaranya :
1. Secara
normatif, upah relatif nasional menuntut keadilan dan kesejahteraan dari
kualitas upah.
2. Secara
politik, upah relatif nasional bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak rakyat
sesungguhnya di mana setiap rakyuat memilik hak untuk mendapatkan hidup yang
layak secara kemanusiaan sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang dasar
1945. Selain itu URN bertujuan menelanjangi posisi politik rezim berkuasa yang
melegalkan dan menjalankan politik upah murah.
3. Secara
idiologis, Upah Relatif Nasional bertujuan terus memperkecil perampasan nilai
lebih yang dilakukan oleh para pemodal terhadap hasil kerja buruh.
Tujuan
tersebut lahir atas situasi obyektif di mana kaum buruh secara keseluruhan di
berbagai daerah dalam tata produksi distribusi kapitalisme hanyalah sebagai
obyek hisapan untuk kepentingan para pemodal. sementara upah yang diterima
kenyataannya tidak mampu memberikan perbaikan hidup secara manusiawi, merata
dan adil.
Bahwa
upah yang diterima setiap buruh di berbagai daerah adalah berbeda-beda satu
daerah dengan daerah yang lainnya, sementara kebutuhan yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan hidup yang layak sesungguhnya adalah sama.
Bagi
kaum buruh hal ini sudah pasti merugikan, bahwa UMP yang lebih besar di banding
dengan daerah yang lain bukan berarti lebih menguntungkan dibanding dengan
daerah yang UMP-nya lebih kecil. Kenapa demikian? karena besaran upah nominal
harus berhadapan dengan besaran tingkat harga suatu komoditi-semakin tinggi
nominal upah maka semakin tinggi juga tingkat inflasi (kenaikan harga).
sehingga nominal tidak berkorelasi lurus dengan kualitas upah rilnya.
Begitu
juga dengan daerah yang memiliki besaran UMP renda bahkan paling rendah pasti
akan memiliki kemampuan daya beli lebih rendah atas suatu komoditi. Sering
sekali kita mendengar bahwa salah satu alasan mendasar yang menjadi pembenaran
dan pengesahan besaran UMP yang berbeda adalah tinggi rendahnya inflasi yang
tidak sama dimasing-masing daerah.
Misalkan
saja kita menggunakan logika tuan penguasa dan pengusaha, pertanyaannya apakah
ada pengklasifikasian kebutuhan antara kebutuhan buruh yang memiliki upah
rendah dengan buruh yang menerima upah lebih tinggi?. Apakah perbedaan tingkat
upah di masing-masing daerah memiliki kesamaan perkembangan hidup layak buruh?.Jika
inflasi sebagai dasar lalu kenapa upah pegawai negeri seperti PNS, TNI, POLRI
bisa sama secara nasional?.
Lalu
bagiamana dengan pengusaha dengan perbedaan tersebut?. Bahwa bagi pengusaha
tentu tetap akan memberikan keuntungan. Pada situasi di mana upah buruhnya
cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain misalnya upah minimum provinsi DKI
Jakarta, situasi tersebut bagi tuan-tuan pengusaha sama sekali tidak
mengalami kerugian. Pengusaha adalah pemilik semua atas hasil-hasil kerja
buruhnya sehingga penambahan nominal cost produksi (upah constant) akan
ditutupi dengan keuntungan yang sepenuhnya dimiliki oleh pengusaha.
Jika
kita asumsikan perusahaan perkembangannya benar-benar mengalami kerugian tentu
tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa faktor upah adalah penyebab utama dari
kerugian tersebut karena nominal upah dalam proses produksi hanya lah salah
satu komponen dari cost produksi. Dan menjadi tidak mungkin sebuah perusahaan
melepas productnya di pasaran di bawah harga produksinya karenanya akan selalu
di atas harga produksinya. Sehingga kerugian sebuah perusahaan bahkan sampai
terjadinya penutupan perusahaan terdapat banyak factor yang menyebabkan dan
sekali lagi kaum buruh yang pertama menjadi korban.
Upah
Layak nasional dengan prinsip relative atas dasar relatifnya upah harus
dilakukan peninjauan secara periodic (triwulan), jika inflasi tidak
mampu dikendalikan dan mengalami peningkatan yang signifikan maka upah harus
ditinjau dan disesuaikan dengan inflasi tersebut (upah dinaikkan). Akan
tetapi tidak berlaku sebaliknya-jika terjadi deflasi (penurunan harga)
peninjauan upah tidak menghasilkan penurunan nilai upah.
Dengan
demikian Upah Layak nasional dengan prinsip relative tidak saja sekedar
persoalan kesamaan nominal dan kesamaan kualitas upah secara nasional akan
tetapi sebagai pelindung hak rakyat atas upah yang layak bagi setiap
buruh/pekerja menuju perbaikan hidup yang manusiawi dan berkeadilan.
Upah
layak nasional sesungguhnya tidak bertentangan dengan cita-cita nasional
sebaliknya menjadi solusi pencapaian cita-cita nasional yaitu memberikan hak
setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan layak. Konsepsi tersebut
memberikan beberapa keuntungan diantaranya;
- Upah
layak nasional yang sama secara nasional akan mampu memberikan standar
kehidupan layak yang sama berdasarkan kemampuan daya beli buruh di
masing-masing provinsi.
- Bahwa
upah layak nasional akan mampu menghentikan perburuan atau pencarian upah
murah di semua daerah yang mengakibatkan terjadinya perpindahan modal dari
satu daerah ke daerah yang lain seperti perpindahan pabrik yang sering
menjadi senjata pengusaha untuk menakut-nakuti buruhnya.
- Upah
layak nasional dalam jangka panjang akan mampu memberikan kontribusi
terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah baik dari
kestabilan kemampuan daya beli maupun dari investasi modal di berbagai
daerah dan pada akhirnya secara bersama-sama di semua daerah akan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Keuntungan-keuntungan
tersebut bisa terealisasikan apabila pemerintah memiliki political will untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bentuk-bentuk
kemauan politik tersebut adalah
- pertama; pemerintah harus segera
mencabut semua paket undang-undang dan peraturan yang tidak mampu memberikan
dan menjamin hak-hak keadilan dan kesejahteraan rakyat, kemudian mengantikannya
dengan undang-undang dan peraturan yang baru termasuk tentang Upah Layak
nasional, yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
- Kedua; Dalam tindakan,
pemerintah harus secara sungguh-sungguh memastikan dilaksanakannya aturan hukum
tersebut (tanpa kompromi) dan melakukan intervensi pasar seperti
pembukaan lapangan kerja, pengendalian laju inflasi sehingga upah mendapatkan
perlindungan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Memang
peran Negara tersebut tidak sederhana dan tidak mudah di tengah kekuasaan modal
tapi pada saat itulah Negara membuktikan jika benar bekerja dan mengabdi untuk
kepentingan massa rakyat mayoritas. Maka konsep inilah yang menjadi salah satu
alternatif tawaran dalam memperjuangkan kualitas upah demi tercukupinya dan
tersesuaikannya kebutuhan hidup bagi buruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar