Senin, 06 April 2015

Upah layak Nasional jawaban atas politik upah murah.

A.     Mitos-mitos tentang upah

Mitos 1: Upah adalah Harga Keringat Buruh

Pengertian yang banyak diterima umum mengenai upah adalah bahwa “upah” merupakan imbalan dari kerja yang diberikan buruh pada pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha “membeli” kerja buruh. Namun argumen yang masuk akal ini dan bersahaja ini sesungguhnya mengandung banyak kesalahan dan akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja.

Mari kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini. Pertama, kerja bukanlah komoditi (barang dagangan) seperti yang biasa kita kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita. Namun, demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses produksi itu menjadi sebuah tambahan nilai pada produk yang dihasilkan. Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan pada majikan kita.

Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia akan membayar sebesar nilai yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika kita mau ambil kesejajaran dengan agak menyederhanakan persoalan, kita bisa membandingkan proses pembentukan harga ini dengan harga benda-benda aji yang konon dapat memberi kekayaan pada pemiliknya. Sebuah keris yang disebut bertuah dapat dihargai jutaan, bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli berkeyakinan bahwa besi aji itu dapat memberinya kekayaan. Namun, buruh (yang sudah pasti akan memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta rupiah – melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya melainkan membeli tenaganya untuk digunakan menghasilkan nilai tambah (nilai lebih)
pada product.

Mitos 2: Upah sesuai Keterampilan

Sekalian bicara tentang Upah Minimum. Inilah faktor kesalahan kedua dari argumen yang biasa kita pahami tentang upah. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, maka ia akan memberi upah sesuai dengan ketrampilan yang kita miliki. Tapi, bukan itu yang kita temui dalam praktek. Kenyataannya, pengusaha selalu berusaha menghitung upah buruh berdasarkan kebutuhan hidup­-nya. Mau itu disebut Kebutuhan Fisik Minimum, Kebutuhan Hidup Minimum, atau Kebutuhan Hidup Layak – tetap kebutuhan yang menjadi dasar perhitungan, bukan keterampilan. 

Di samping itu, tingkat kebutuhan yang diakui oleh pengusaha, telah terbukti, tergantung pada negosiasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan pengusaha. Jika kita bicara tentang negosiasi atau perundingan, kita bicara tentang perimbangan kekuatan antar pihak-pihak yang berunding. Kita juga sudah lihat bagaimana perjuangan untuk upah biasa melibatkan demonstrasi dan mogok kerja yang ditujukan untuk menekan lembaga-lembaga publik (negara) yang berwenang menetapkan upah. Dengan demikian, bukan nilai “kerja” yang menjadi landasan bagi penentuan upah, melainkan tingkat kebutuhan paling minimum buruh.

Mitos 3: Upah harus disesuaikan dengan Hukum Pasar

Adanya negosiasi upah dan diakuinya anggapan umum bahwa kerja adalah sebuah “komoditi” menimbulkan kesalahan yang ketiga, yakni anggapan bahwa dalam penentuan nilai kerja (=upah) berlaku hukum pasar, yakni permintaan dan penawaran. Padahal, dalam pengalaman praktek sehari-hari serikat buruh, bukan hukum pasar ini yang berlaku dalam perundingan. Melainkan di mana serikat buruhnya kuat, upah dan jaminan sosial lainnya pasti diberikan secara penuh – tidak jarang bahkan masih dilebihkan.

Namun, di mana serikat lemah, hampir bisa dipastikan bahwa kesejahteraan juga tidak terjamin. Selain dari persoalan kekuatan serikat, yang artinya seberapa kuat posisi tawar buruh, upah yang tinggi biasanya ditemui di perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan keuntungan luar biasa besar. Pada kasus seperti ini, pengusaha membagi sedikit keuntungan yang diperolehnya pada buruh. Dengan kata lain, tinggi-rendahnya upah tidak tergantung pada pasokan dan permintaan ketenagakerjaan, melainkan pada seberapa mampu buruh menekan pengusaha agar membagi keuntungan mereka pada buruh.

Dengan argumen palsu itu, pengusaha dapat menerapkan berbagai sistem yang menguntungkan mereka. Yang pertama berkaitan dengan masalah “produktivitas”. Dengan alasan bahwa mereka sedang “membeli kerja”, pengusaha berusaha menekan buruh agar berproduktivitas setinggi mungkin. Entah dengan tekanan dan ancaman, atau dengan pemberian insentif, pengusaha berusaha memeras keuntungan semakin banyak dari keringat buruhnya. Padahal, kita sudah lihat bahwa mereka hanya memberi upah sebatas “kebutuhan hidup”. Sekalipun ada insentif, jumlahnya pastilah sangat jauh di bawah nilai tambah yang kita berikan pada pengusaha lewat kerja kita. Di samping itu, dengan bekerja melebihi batas kemampuan fisik dan mentalnya, seorang buruh justru memperpendek usia produktivitasnya sendiri. Kelelahan memicu penyakit dan penuaan dini. Selain daripada itu, semakin panjangnya waktu yang dihabiskan di tempat kerja (misalnya karena lembur), akan membuat keluarga tidak terurus – satu sumber stress dan tekanan lain bagi kesejahteraan buruh.

Untuk memberi kesan bahwa pengusaha sungguh-sungguh membeli keterampilan, kini diterapkan komponen upah tambahan berdasarkan sektor. Sektor-sektor yang dianggap membutuhkan ketrampilan tinggi akan mendapatkan upah minimum sektoral yang lebih tinggi dari sektor-sektor industri berteknologi rendah. Peraturan ini tengah diterapkan, misalnya saja, pada sektor otomotif. Namun, ukurannya kemudian menjadi rancu karena penentuan sektoral itu ditentukan oleh seberapa tinggi teknologi yang diterapkan oleh industri – bukan oleh seberapa terampil buruhnya. Satu pertanyaan sederhana: apakah seorang buruh bangunan yang menggunakan peralatan sekedarnya memang kurang terampil dibandingkan seorang operator robot pembuat mobil? Seorang buruh bangunan harus mengerahkan segenap ketrampilannya untuk membuat bangunannya kokoh dan dapat bertahan lama, sementara seorang operator robot cukup menekan beberapa tombol untuk menggerakkan robotnya. Siapapun yang pernah mencoba memasang sendiri ubin keramik (tanpa memanggil tukang) pasti tahu betapa sulitnya pekerjaan itu, dan betapa pekerjaan yang kelihataannya sederhana itu ternyata membutuhkan ketrampilan yang amat tinggi. Terlebih jika tidak memiliki peralatan yang memadai. Semakin tinggi teknologi, justru tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya semakin rendah.

Dan melalui anggapan bahwa dalam penentuan upah berlaku hukum pasar, kelas pengusaha kemudian melancarkan tuduhan bahwa serikat buruh merupakan sebuah kekuatan yang “mendistorsi pasar” – dengan kata lain, serikat buruh adalah sebuah kekuatan monopoli, yang harus dihapuskan, sehingga sistem persaingan pasar dapat berjalan dengan lancar. Kenyataan yang kita temui, setelah serikat dibubarkan, pengusaha melakukan tawar-menawar dengan intimidasi: “kalau kamu tidak mau menerima tingkat upah yang kami tawarkan, masih banyak orang lain yang kini menganggur ingin juga bekerja di sini.” Dengan kata lain, “hukum pasar” pada prakteknya adalah alat intimidasi agar buruh mau menerima tingkat upah yang murah. Hukum Pasar bukanlah sebuah hukum alam, atau hukum yang berlaku secara objektif, melainkan sebuah akal-akalan karangan pengusaha agar dapat menekan tingkat upah buruh.

B.    Upah Relatif Nasional menuju upah layak nasional .


Konsep Upah Relatif Nasional hadir sebagai bagian praisi ekonomi suatu Negara termasuk harga-harga kebutuhan hidup tidak lagi semata-mata bergantung pada proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli pada suatu daerah maupun suatu negara.
Sehingga sejatinya penentuan nilai upah pada masa kapitalisme saat ini hanyalah berdasarkan harga untuk dapat menghadirkan buruh pada proses produksi keesokan harinya, yang dihitung adalah nilai minimum kebutuhan fisik seorang buruh untuk dapat tetap memiliki tenaga dan pikiran dalam menjalankan proses produksi, sedangkan apabila sudah dapat memenuhi minimum soal kebutuhan mental dan keluarga maka hal tersbut sudah masuk pada kategori layak.

Pada kategori upah seperti selama ini telah menghasilkan banyak kelas buruh yang sakit secara fisik (kecelakaan kerja, sakit fisik saat masa kerja, maupun sakit fisik saat sudah tidak ada lagi hubungan kerja tetapi sesungguhnya disebabkan oleh kerja pada masa sebelumnya) maupun sakit secara mental (tidak peduli secara sosial pada keluarga inti, keluarga besar maupun pada lingkungan masyarakat, kerja menjadi tujuan hidup). situasi demikian semakin meng-alienasi-kan (mengasingkan) kaum buruh baik atas hasil kerjanya, atas lingkungan sosialnya sampai apada alienasi atas dirinya sendiri.

syarat pemenuhan dan pematangan perjuangan Upah Layak Nasional ditengah-tengah system ekonomi dunia yang semakin terglobalisasi dibawah kekuasaan kelas modal, dimana kond
Upah Relatif Nasional (URN) merupakan perlindungan hak kaum buruh atas kualitas nilai upah (nominal&riil) untuk mendapatkan kepastian hidup layak bagi kaum buruh dan keluarganya. Ada beberapa tujuan dari Upah relatif nasional diantaranya :

1.     Secara normatif, upah relatif nasional menuntut keadilan dan kesejahteraan dari kualitas upah.

2.     Secara politik, upah relatif nasional bertujuan menjamin dan melindungi hak-hak rakyat sesungguhnya di mana setiap rakyuat memilik hak untuk mendapatkan hidup yang layak secara kemanusiaan sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang dasar 1945. Selain itu URN bertujuan menelanjangi posisi politik rezim berkuasa yang melegalkan dan menjalankan politik upah murah.

3.     Secara idiologis, Upah Relatif Nasional bertujuan terus memperkecil perampasan nilai lebih yang dilakukan oleh para pemodal terhadap hasil kerja buruh.

Tujuan tersebut lahir atas situasi obyektif di mana kaum buruh secara keseluruhan di berbagai daerah dalam tata produksi distribusi kapitalisme hanyalah sebagai obyek hisapan untuk kepentingan para pemodal. sementara upah yang diterima kenyataannya tidak mampu memberikan perbaikan hidup secara manusiawi, merata dan adil.
Bahwa upah yang diterima setiap buruh di berbagai daerah adalah berbeda-beda satu daerah dengan daerah yang lainnya, sementara kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hidup yang layak sesungguhnya adalah sama.

 Bagi kaum buruh hal ini sudah pasti merugikan, bahwa UMP yang lebih besar di banding dengan daerah yang lain bukan berarti lebih menguntungkan dibanding dengan daerah yang UMP-nya lebih kecil. Kenapa demikian? karena besaran upah nominal harus berhadapan dengan besaran tingkat harga suatu komoditi-semakin tinggi nominal upah maka semakin tinggi juga tingkat inflasi (kenaikan harga). sehingga nominal tidak berkorelasi lurus dengan kualitas upah rilnya.

Begitu juga dengan daerah yang memiliki besaran UMP renda bahkan paling rendah pasti akan memiliki kemampuan daya beli lebih rendah atas suatu komoditi. Sering sekali kita mendengar bahwa salah satu alasan mendasar yang menjadi pembenaran dan pengesahan besaran UMP yang berbeda adalah tinggi rendahnya inflasi yang tidak sama dimasing-masing daerah.

Misalkan saja kita menggunakan logika tuan penguasa dan pengusaha, pertanyaannya apakah ada pengklasifikasian kebutuhan antara kebutuhan buruh yang memiliki upah rendah dengan buruh yang menerima upah lebih tinggi?. Apakah perbedaan tingkat upah di masing-masing daerah memiliki kesamaan perkembangan hidup layak buruh?.Jika inflasi sebagai dasar lalu kenapa upah pegawai negeri seperti PNS, TNI, POLRI bisa sama secara nasional?.

Lalu bagiamana dengan pengusaha dengan perbedaan tersebut?. Bahwa bagi pengusaha tentu tetap akan memberikan keuntungan. Pada situasi di mana upah buruhnya cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain misalnya upah minimum provinsi DKI Jakarta, situasi tersebut bagi tuan-tuan pengusaha sama sekali tidak  mengalami kerugian. Pengusaha adalah pemilik semua atas hasil-hasil kerja buruhnya sehingga penambahan nominal cost produksi (upah constant) akan ditutupi dengan keuntungan yang sepenuhnya dimiliki oleh pengusaha.

Jika kita asumsikan perusahaan perkembangannya benar-benar mengalami kerugian tentu tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa faktor upah adalah penyebab utama dari kerugian tersebut karena nominal upah dalam proses produksi hanya lah salah satu komponen dari cost produksi. Dan menjadi tidak mungkin sebuah perusahaan melepas productnya di pasaran di bawah harga produksinya karenanya akan selalu di atas harga produksinya. Sehingga kerugian sebuah perusahaan bahkan sampai terjadinya penutupan perusahaan terdapat banyak factor yang menyebabkan dan sekali lagi kaum buruh yang pertama menjadi korban.

Upah Layak nasional dengan prinsip relative atas dasar relatifnya upah harus dilakukan peninjauan secara periodic (triwulan), jika inflasi tidak mampu dikendalikan dan mengalami peningkatan yang signifikan maka upah harus ditinjau dan disesuaikan dengan inflasi tersebut (upah dinaikkan). Akan tetapi tidak berlaku sebaliknya-jika terjadi deflasi (penurunan harga) peninjauan upah tidak menghasilkan penurunan nilai upah.
Dengan demikian Upah Layak nasional dengan prinsip relative tidak saja sekedar persoalan kesamaan nominal dan kesamaan kualitas upah secara nasional akan tetapi sebagai pelindung hak rakyat atas upah yang layak bagi setiap buruh/pekerja menuju perbaikan hidup yang manusiawi dan berkeadilan.

Upah layak nasional sesungguhnya tidak bertentangan dengan cita-cita nasional sebaliknya menjadi solusi pencapaian cita-cita nasional yaitu memberikan hak setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan layak. Konsepsi tersebut memberikan beberapa keuntungan diantaranya;

  1. Upah layak nasional yang sama secara nasional akan mampu memberikan standar kehidupan layak yang sama berdasarkan kemampuan daya beli buruh di masing-masing provinsi.

  1. Bahwa upah layak nasional akan mampu menghentikan perburuan atau pencarian upah murah di semua daerah yang mengakibatkan terjadinya perpindahan modal dari satu daerah ke daerah yang lain seperti perpindahan pabrik yang sering menjadi senjata pengusaha untuk menakut-nakuti buruhnya. 

  1. Upah layak nasional dalam jangka panjang akan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah baik dari kestabilan kemampuan daya beli maupun dari investasi modal di berbagai daerah dan pada akhirnya secara bersama-sama di semua daerah akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Keuntungan-keuntungan tersebut bisa terealisasikan apabila pemerintah memiliki political will untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bentuk-bentuk kemauan politik tersebut adalah 

- pertama; pemerintah harus segera mencabut semua paket undang-undang dan peraturan yang tidak mampu memberikan dan menjamin hak-hak keadilan dan kesejahteraan rakyat, kemudian mengantikannya dengan undang-undang dan peraturan yang baru termasuk tentang Upah Layak nasional, yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

- Kedua; Dalam tindakan, pemerintah harus secara sungguh-sungguh memastikan dilaksanakannya aturan hukum tersebut (tanpa kompromi) dan melakukan intervensi pasar seperti pembukaan lapangan kerja, pengendalian laju inflasi sehingga upah mendapatkan perlindungan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Memang peran Negara tersebut tidak sederhana dan tidak mudah di tengah kekuasaan modal tapi pada saat itulah Negara membuktikan jika benar bekerja dan mengabdi untuk kepentingan massa rakyat mayoritas. Maka konsep inilah yang menjadi salah satu alternatif tawaran dalam memperjuangkan kualitas upah demi tercukupinya dan tersesuaikannya kebutuhan hidup bagi buruhnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar