Jumat, 19 Agustus 2016

DI PIDANAKAN BURUHNYA, PENGUSAHA TESKTILE JADI BURONAN


Jakarta – Kejaksaan Negeri Republik Indonesia mencekal Pengusaha PT. Siliwangi Knitting Factory Hendry Kumulia agar tidak bepergian ke luar negeri. Ia juga akan masuk dalam Daftar Pencarian Orang. Ini menyusul aksi unjuk rasa Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara pada 7 April 2016.
Dalam aksinya, FPBI menuntut penangkapan pengusaha yang tidak membayar upah minimum itu dan penerbitan Surat Pencekalan sebagai terpidana. Pasalnya, Hendry memiliki itikad untuk tidak bekerjasama dalam penegakan hukum.
“Dalam Audensi pada tanggal 07 April 2016 pihak Kejari menyatakan sudah mendatangi rumah terpidana sebanyak 2 (dua) kali akan tetapi rumah tersebut sudah lama kosong” keterangan pegiat FPBI, Arini yang terlibat dalam audensi pada Jumat, 29 April 2016.
Arini menambahkan, Kejari menerangkan surat pencekalan sudah terbit. Namun, surat penetapan Kumulia masih dalam proses penerbitan. “Surat penetapan DPO segera menyusul,” sebut Arini menyampaikan hasil audiensi.
Sebelumnya Hendry Kumala ditetapkan sebagai terpidana pada Juli 2015 setelah permohonan kasasinya di tolak oleh Mahkamah Agung (MA). Pengusaha itu dipidana kurungan badan selama 1 (satu) tahun dan membayar denda sebesar RP. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dia membayar upah dibawah ketentuan UMP dan tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta Jamsostek.
Di sisilain  Khotiah yang merupakan salah satu buruh yang mempidanakan Pengusaha PT. Siliwangi Knitting Factory  menceritakan pengalamanya dengan suara yang kerap kali bergetar dan berlinang air mata Dia dan kawan2 di serikatnya berhasil membawa pemilik pabrik tempatnya bekerja menjadi terpidana hukuman penjara satu tahun. Perlawanannya telah melampaui sekedar perkara benar dan salah di mata hukum. Khotiah dan kawan2nya, dengan keberanian telah menunjukan bahwa kekuasaan bernama rejim pabrik itu ternyata bs ditundukan sepenuhnya. Buruh berhasil mempidanakan majikannya!
Pabrik pembuat kaos kaki yg telah berdiri sejak 1955 itu diduduki selama tiga tahun sejak 2011 sampai 2014. Asetnya mereka kuasai. Rumah pemiliknya di sebuah kompleks perumahan mewah digedor Khotiah dan kawan2nya yg sedang menjalankan puasa. Kantor pengacara pengusaha mereka grebek. Gedung2 pengadilan sejak PHI, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, selalu mereka penuhsesaki. Selama itu mereka bertahan dgn segala yg bs dilakukan. Menjadi buruh lepas pabrik pembuat mainan balon, mengumpulkan botol air mineral bekas, kerja serabutan di berbagai konveksi. Melangsungkan pendudukan pabrik dan proses hukum berbelit2, selama tiga kali lebaran bagi Khotiah dan seratus dua puluh kawannya yg rata2 adalah perantau, tentu bukan hal mudah.
Pengusaha itu buron. Sejak awal pengadilan dimulai sampai keluar keputusan tetap dr Mahkamah Agung tahun 2014, Kejaksaan tak pernah menangkapnya. Bahkan baru mengeluarkan daftar pencarian orang pada awal tahun 2016.

BELAJAR BERJUANG BERKUASA MENUJU KEMERDEKAAN 100%

Sumber : https://fpbiindonesia.wordpress.com/2016/05/19/tak-bayar-ump-pengusaha-tekstil-jadi-buron/
             : https://www.facebook.com/abu.mufakhir?fref=nf&pnref=story
Lihat Selengkapnya...

Rabu, 20 April 2016

"Kenapa Pendukung Jokowi Boleh Demo Sampai Malam, Buruh Tidak..?"

Siaran Pers GBI, 18 April 2016.
Sidang Eksepsi-- Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menilai rekayasa pidana pada 23 buruh muncul karena mereka menolak liberalisasi ekonomi. Eksepsi berjudul, “Menolak PP Pengupahan, Aktivis Dikriminalisasi,” tersebut menyampaikan peraturan PP Pengupahan mengorbankan rakyat banyak.
Dalam sanggahannya, buruh mempertanyakan wewenang kepolisian untuk mempidanakan peserta aksi di malam hari. Buruh menilai aksi yang mendukung pemerintahan Jokowi tidak dibubarkan, namun aksi yang mengkritik pemerintahan justru dipidanakan. Buruh Indonesia mempertanyakan kenapa polisi tidak mempidanakan peserta aksi 1000 lilin pendukung Jokowi pada 19 Oktober 2014 yang dilakukan pada malam hari.
Lebih lanjut, buruh menilai tebang pilih itu dilakukan karena pemerintahan Joko Widodo itu ingin menegakan prinsip pasar bebas yang menindas buruh. “Dalam agenda Neoliberalisme, hukum dibuat dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan praktek penindasan atas nama Negara dan Kekuasaan,” tulis eksepsi yang dibacakan Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat (TABUR) pada sidang 23 buruh di pengadilan negeri Jakarta Pusat pada Senin, 18 April 2016.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap 23 peserta dan 2 pendamping aksi unjuk rasa penolakan PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 dengan alasan waktu demonstrasi. Tidak hanya itu, polisi tanpa identitas jelas melakukan pemukulan dan penganiayaan pada para buruh. “Para Pejuang Buruh yang sekarang dijadikan korban kriminalisasi adalah mereka-mereka yang berjuang demi harkat dan martabat dirinya dan keluarganya dalam menuntut upah dan kesejahteraan,” imbuh tim kuasa hukum.
GBI juga menilai dakwaan berdasarkan pasal 216 dan 218 KUHP tidak berdasar karena hukum yang mengatur aksi unjuk rasa adalah UU 9/1998 tentang. UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur batas waktu unjuk rasa. Dakwaan dengan pasal 216 beralasan buruh menentang aparat karena tidak tunduk pada perintah pembubaran berdasar batas waktu pada Peraturan Kepala Kepolisian 7/2012 yang tingkatnya di bawah undang-undang. “Maka unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan pada malam hari bukan merupakan tindak pidana dan tidak bisa dipidana dengan alasan telah melewati Pukul 18.00 Wib,” tulis tim TABUR dalam eksepsi.
Lebih jauh lagi, korban kriminalisasi Dian Septi Trisnanti menyebut penindasan pada wong cilik tersebut berkebalikan dengan perlakuan pemerintahan PDI-P itu pada pemodal. “ Berkebalikan dengan kebijakan upah murah kepada kami, pemerintah Jokowi memberi berbagai kemudahan kepada para investor melalui paket kebijakan ekonomi dari jilid 1 hingga jilid 6,” sebut aktivis buruh perempuan tersebut. Alhasil, tren kebijakan itu akan terus memiskinkan rakyat di negerinya sendiri.
Dalam penutup eksepsinya, 23 buruh korban kriminalisasi meminta majelis hakim menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum. “Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor Reg. Perkara: PDM-30/JKT.PST/02/2016 sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” tulis petitum eksepsi 23 buruh.
GBI terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan terdiri dari beberapa Federasi Buruh (FSPASI, SBSI 92, FSUI, FGSBM)
Narahubung:
Michael, Pimpinan kolektif KPBI (GBI) +62 812-9885-3283
Kahar S. Cahyono Juru Bicara KSPI (GBI) 085945731398
Eny, LBH Jakarta (TABUR) +6285711457214
Hesty, KPBI (TABUR) +6282372365009
Lihat Selengkapnya...