Tampilkan postingan dengan label PERBURUHAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERBURUHAN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Juni 2015

Pernyataan Sikap KOMITE PERSIAPAN-KONFEDERASI PERSATUAN BURUH INDONESIA (KP-KPBI)

"Mengecam Keras Tindakan Brutal Ormas Pemuda Pancasila dan Tindakan Pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian terhadap aksi kekerasan Ormas PP kepada Massa Aksi FSPASI"

kembali lagi aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah preman dan Ormas PP terhadap aksi-aksi serikat buruh yang sedang melakukan perjuangan normatif. kali ini kelompok Reaksioner ini telah melakukan serangan terhadap Aksi Unjuk Rasa yang dilakukan oleh FSPASI-PT VOKSEL ELECTRIC di jln raya narogong KM 16 desa Limusnunggal kec. Cilengsi Kab. Bogor Jawa Barat.Masih belum hilang dalam ingatan kita pada saat mogok nasional 2013 beberapa tahun yang lalu sejumlah kelompok Reaksioner yang mengatas namakan Ormas telah melakukan penyerangan, pemukulan bahkan pembantaian terhadap anggota serikat buruh yang sedang melakukan perjuangan upah. tidak sedikit kawan-kawan buruh yang menjadi korban kebiadapan kelompok Reaksioner ini, sedikitnya 17 anggota FSPMI dan 1 anggota FPBI kab. Bekasi mengalami luka-luka dan 3 diantaranya mengalami luka yang cukup parah sehingga harus mendapatkan tindakan medis secara serius.

yang menjadi pertanyaannya adalah siapa yang menggerakan kelompok2 reaksioner tersebut ?
lalu dimana posisi kepolisian sebagai lembaga/institusi yang seharusnya melakukan pengamanan pada saat terjadinya tindakan tersebut ?
Bung Helmi Yadi sebagai Pimpinan Kolektif KP-KPBI Bekasi berpendapat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan ormas2 reaksioner itu tidak serta merta bergerak atas dasar kehendak ormas itu sendiri, melainkan bergerak atas dasar intruksi/perintah dari aktor2 dibelakang layar. di duga aktor2 itu adalah pengusaha itu sendiri yang mendapat persetujuan dr pihak keamanan setempat. (situasinya persis ketika sejumlah ormas yang mengatas namakan warga bekasi bergerak melakukan penggrebekan terhadap serikat buruh di PT. SAMSUNG pada tahun 2012 lalu).
Situasi hari ini memang bukan situasi yang menguntungkan bagi kaum buruh indonesia, di satu sisi buruh indonesia sedang dihantam gelombang PHK besar-besaran atas dampak dari semakin merosotnya ekonomi makro secara global yang mengakibatkan dibeberapa perusahaan harus melakukan efisiensi terhadap buruhnya dan disisi yang lain ketika kaum buruh melakukan perjuangan meskipun bersifat normatif, langsung dihadapkan dengan tindakan represif baik dari pihak kepolisian maupun milisi reaksioner yang mengatas namakan Ormas.
Bung Ilham Syah berpandangan bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap persoalan perburuhan yang terjadi republik ini. "Mau jadi apa bangsa ini, jika pemerintahnya tidak lagi melakukan perlindungan terhadap buruh yang merupakan rakyatnya sendiri" coba lihat itu, mayoritas yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah pengusaha2 asal korea, cina dan eropa. yang berarti pengusaha asing telah berani mengangkangi Konstitusi negara kita, tapi kok malah buruhnya yang direpresif..? "pungkasnya"...
Tidak ada cara lain lagi bagi gerakan buruh hari ini untuk terus melakukan konsolidasi untuk membangun PERSATUAN dan PERJUANGAN melawan penindasan, tidak lagi kita kaum buruh indonesia bisa berharap kepada Elit-Elit politik Busuk yang hari ini berkuasa. saatnya kaum buruh indonesia membangun kekuatannya sendiri.
Oleh karena itu, kami Pimpinan Kolektif Komite Persiapan-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI) menyatakan sikap :
1. Mengecam keras tindakan brutal Ormas PP terhadap aksi masa Buruh FSPASI-PT. VOKSEL ELECTRIC.
2. Menuntut pihak kepolisian untuk bertanggung jawab terhadap tragedi pemukulan yang dilakukan oleh Ormas PP dan segera mengusut tuntas sampai pelaku pemukulan ditangkap.
3. Mendukung sepenuh-penuhnya perjuangan Kawan-Kawan FSPASI sampai tuntutannya terpenuhi.
4. Menyerukan kepada seluruh serikat/federasi/konfederasi buruh untuk melakukan solidaritas terhadap aksi-aksi buruh yang sedang melakukan perjuangan normatif.
Hidup Buruh..Hidup Buruh..Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan..Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera...!!!
Hormat Kami,
Jakarta, 24 Juni 2015

Pimpinan Kolektif
KP-KPBI (085710372721)
Lihat Selengkapnya...

Minggu, 31 Mei 2015

DINAMIKA PERBURUHAN DI CIANJUR

Cianjur merupakan daerah agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani,seiring perkembangan zaman kini cianjur memasuki era baru yakni era indrustrialisasi. Perlahan demi perlahan sawah-sawah yang ada di cianjur akan habis seiring tingginya UMK di daerah sekitar cianjur yang notabene lebihtinggi dari pada upah buruh di cianjur.

ERA INDRUSTRIALISASI

Melihat begitu tingginya kesenjangan upah antara cianjur dan daerah sekitar seperti bekasi jakarta bogor bandung sukabumi.
Bukan hal yang mengherankan bagi para pengusaha untuk memindahkan perusahaanya (ekspansi) ke daerah yang terdekat dengan pusat ekonomi di indonesia. Salah satunya adalah daerah cianjur selain jarak yang tidak begitu jauh dengan pusat ekonomi (jakarta), seperti gayung bersambut keinginan pengusaha untuk memindahkan atau mendirikan perusahaan di cianjur di sambut dengan penyediaan lahan yang diperuntukan untuk indrustri oleh pemerintah kabupaten cianjur di wilayah utara dan wilayah tengah seperti yang dikatakan Kepala Bidang Penanaman Modal Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kabupaten Cianjur Aries Heriansah mengatakan, melihat berkembangnya iklim industri saat ini, sejumlah kecamatan di Cianjur memang tampaknya mulai dipersiapkan sebagai lahan investasi. "Kelihatannya memang sejumlah kawasan di Cianjur Tengah cukup cocok dijadikan sebagai tempat industri. Sesuai Perda No 17/2012 tentang Tata Ruang, kecamatan yang diarahkan untuk pembangunan investasi di antaranya
berada di Karangtengah, Ciranjang, Sukaluyu, Haurwangi,Mande, dan Cikalongkulon



Pemkab Cianjur sudah mengklasifikasikan skala industri. Misalnya untuk Kecamatan Karangtengah, industri yang mesti dibangun adalah skala kecil. Sedangkan di Kecamatan Mande, Cikalongkulon, Haurwangi, maupun Gekbrong, sesuai rapat pembahasan tim teknis diarahkan untuk industriskala sedang. Sedangkan kawasan Ciranjang dan Sukaluyu diarahkan untuk industriskala besar. "Pembagian skala industri itu sudah ditetapkan sesuai Perda Tata Ruang. Tapi jika melihat data,di Kabupaten Cianjur hingga saat ini industri skala besar. Seluruhnya merupakan PMA (Penanaman Modal Asing.)


dari segi lain upah buruh cianjur tergolong rendah bayangkan saja gajih satu orang di bekasi hampir sama dengan gajih dua orang di cianjur. Selain karena faktor upah yang relatif murah disisilain yang tak kalah menarik perhatian adalah pemahaman buruh cianjur yang begitu rendah akan hak-hak buruh yang telah diatur baik dalam  UU13 Thn 2003 atau dalamkeputusan menteri begitu pula pergerakan serikat serikat pekerja yang belumbegitu masif. Maka wajar bila banyak perusahaan yang ada di cianjur mengupah buruhnya yang tidak sesuai dengan UMK dan aturan lain, lemburan yang tak jelas, berbagai macam cuti yang tak di berikan, pelecehan yang berupa makian-makian pada saatbekerja,dll.
Mengingat begitu besarnya potensi di exploitasi,
buruh cianjur harus segera melakukan langkah konsolidasi dengan menyatukan persepsi untuk melawan ketidak adilan yang semakinnyata.

PERGERAKAN BURUH CIANJUR

Pergerakan buruh cianjur mulai bergeliat memulai gerakannya. Diawali oleh aksi menuntut kenaikan umk 2014 yang pada waktu itu merupakan salah satu persentase kenaikan UMK paling tinggi sejawa barat. Namun keberhasilan itu Tidak berlangsung lama karena masih banyak perusahaan yang menggaji buruhnya di bawah umk, pemecatanmasal, ketidak jelasan jam lembur kerja dll.

Pergerakan buruh dicianjur mulai menyurut di tahun 2014 aksi menuntuk kenaikan upah 2015 selama 3 hari berturut turut yang hanya menghasilkan kenaikan umk sekitar 11% serta ke ikut sertaan peserta aksi yang begitu sedikit di karenakan banyak perusaan yang melarang buruhnya ikut aksi di sertai basis-basis serikat pekerja dicianjur banyak yang telah di berangus bahkan menjadi antek perusahaan.

PERGERAKAN BURUH DIPERUSAAN DI WILAYAH CIANJUR

Pergerakan buruh didalam basis serikat di perusahan masih sangat kurang. Terbukti masih banyak basis-basis serikat yang buruhnya kontrak, perjuangannya tak langsung mengarah kepada status kerja. Selain ancaman yang di berikan perusaan begitu deras menimpa langkah gerak serikat buruh di dalam perusahaan yang ada di cianjur faktor kesadaran akan pemahaman UU 13 thn 2003 ataupun peraturan terkait denganketenagakerjaan yang masih sangat minim. Selain itu faktor ekonomi menjadi momok yang paling menakutkan bagi buruh cianjur karena pemikiran kebanyakan buruh di cianjur mereka akan sulit untuk menang melawan pengusaha yang notabene berkantong tebal.

Faktor lain yakni kultur pemahaman yang ada di masyarakat yang saling bersambut dengan statement perusahaan. Seperti kerja dulu nanti juga gaji ngikutin sendiri. Tetapi fakta lain di lapangan berbeda banyak buruh di cianjur yang bekerja melebihi jam kerja di bayar dengan upah yang relatif kecil dan tak sesuai dengan perhitungan sesuai peraturan yang ada.

Perlahan demi perlahan mungkin kedepannya banyak orang tua dari buruh yang ada di cianjur yang mayoritas petani yang berharap setelah mereka melepas sawah sawah mereka harus rela juga anak mereka diperlakukan seperti budak di perusahan yang dulunya adalah tanah mereka.

PERLUKAH PERDA MENGENAI PERLINDUNGAN BURUH

Jika melihat fakta yang ada di lapangan mengenai status kerja banyak buruh yang status kerjanya tidak jelas, kontrak yang menyalahi aturan ataupun dengan status harian lepas,padahal telah jelas di sebutkan dalam peraturan daerah no 8 tahun 2013 tentang investasi di kabupaten cianjur pasal 4 huruf e bahwa setiap investor harus mematuhi semua ketentuan peraturan perundang undangan. Dan sanksi pada pasal 16 ayat 1 setiap investor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, dapat di kenakan sanksi administrasi berupa:

a.      Teguran lisan atau pemangggilan
b.     Teguran tertulis
c.      Pemberhentian sementara dari kegiatan
d.     Pembekuan kegiatan usaha
e.      Pencabutan
f.      Pencabutan izin dan/atau
g.     Rekomendasi

Sedangka peraturan perundang undangan yang berlaku di republik Indonesia tentang ketenagakerjaan ialah uu 13 tahun 2003 dan peraturan menteri terkait,

Seperti dalam pasal 59 ayat 1 menyebutkan bahwa  Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama danpaling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaanyang bersifat musiman; atau
d. pekerjaanyang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dan pasal 59 ayat 2 menyebutkan bahwa  “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap”.
Dan keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 100 tahun 2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentusedikitnya ada 3 sarat pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja kontrak yaitu: perkerjaan yang sekali selesai atausementara sifatnya, pekerjaan yang bersifat misiman, dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru. sementara untuk pekerja harian tidak boleh melebihi jumlah hari kerja yaitu selama 21 hari selama 3 bulan berturut turutapa bila melebihi secara otomatis perjanjian tersebut berubah menjadi PKWTT alias tetap

Melihat dari dasar hukum di atas sudah seharusnya perusahaan perusahaan yang ada di daerah cianjur harus memperkerjakan buruhnya dengan status tetap tapi pada faktanya mayoritas perusahaan melanggar ketentuan tersebut yang sudah jelas dalam peraturan daerah sendiri bahwa setiap investor harus mematuhi semua ketentuan peraturan perundang undangan republik Indonesia.

Pengawasan yang kurang dan sanksi yang dirasa belum cukup untuk membuat perusahaan perusahaan menjalankan peraturan undang undang ketenagakerjaan, maka dari itu perlu satu aturan daerah yang mengatur dengan tegas bahwa setiap perusahan perusahaan ada di cianjur harus memperkerjakan buruhnya dengan status tetap sebagai syarat mutlak, sebagai bentuk perlindungan yang di berikan oleh pemerintah daerah kabupaten cianjur terhadap warganya, karena sejatinya para pekerja di kabupaten cianjur mempunyai hak untuk kepastian penghidupannya.


Bersambung….

Lihat Selengkapnya...

Selasa, 19 Mei 2015

PENGERTIAN UPAH SEPERTI INI MEMBUAT BURUH MENDERITA

 raningnews Pengusaha merekayasa pengertian upah sehingga memudahkannya menjalankan politik upah murah. 
Upah umumnya merupakan imbalan dalam bentuk uang yang diberikan pengusaha kepada buruh. Pengertian ini sesungguhnya mengandung banyak kesalahan dan akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja. Demikian disampaikan Sukanti, Departemen Litbang Pimpinan Pusat Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (LITBANG PP FPBI), saat di hubungi RaningNews, Jakarta, 26/10. “Ada mitos tentang upah yang terus dikembangkan oleh pengusaha sehingga pengusaha sangat leluasa melakukan politik upah murah. Mitos ini terus dipertahankan oleh pengusaha bahkan dalam aturan hukumpun mitos upah itu ada. Mitos upah yang berkembang saat ini antara lain; Upah adalah harga keringat buruh, upah sesuai keterampilan dan upah harus disesuaikan dengan hukum pasar. Inilah dasar pengupahan yang tidak layak hari ini”. Ujarya. 

Ø   Mitos 1: Upah adalah Harga Keringat Buruh

Mari kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini. Pertama, kerja bukanlah

komoditi (barang dagangan) seperti yang biasa kita kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita. Namun, demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses produksi itu menjadi sebuah tambahan nilai pada produk yang dihasilkan. Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan pada majikan kita.

Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia akan membayar sebesar nilai yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika kita mau ambil kesejajaran dengan agak menyederhanakan persoalan, kita bisa membandingkan proses pembentukan harga ini dengan harga benda-benda aji yang konon dapat memberi kekayaan pada pemiliknya. Sebuah keris yang disebut bertuah dapat dihargai jutaan, bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli berkeyakinan bahwa besi aji itu dapat memberinya kekayaan.

Namun, buruh (yang sudah pasti akan memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta rupiah – melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya melainkan membeli tenaganya untuk digunakan menghasilkan nilai tambah (nilai lebih) pada product.

Ø   Mitos 2: Upah sesuai Ketrampilan

Sekalian bicara tentang Upah Minimum. Inilah faktor kesalahan kedua dari argumen yang biasa kita pahami tentang upah. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, maka ia akan memberi upah sesuai dengan ketrampilan yang kita miliki. Tapi, bukan itu yang kita temui dalam praktek. Kenyataannya, pengusaha selalu berusaha menghitung upah buruh berdasarkan kebutuhan hidup­-nya. Mau itu disebut Kebutuhan Fisik Minimum, Kebutuhan Hidup Minimum, atau Kebutuhan Hidup Layak – tetap kebutuhan yang menjadi dasar perhitungan, bukan keterampilan.

Di samping itu, tingkat kebutuhan yang diakui oleh pengusaha, telah terbukti, tergantung pada negosiasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan pengusaha. Jika kita bicara tentang negosiasi atau perundingan, kita bicara tentang perimbangan kekuatan antar pihak-pihak yang berunding. Kita juga sudah lihat bagaimana perjuangan untuk upah biasa melibatkan demonstrasi dan mogok kerja yang ditujukan untuk menekan lembaga-lembaga publik (negara) yang berwenang menetapkan upah. Dengan demikian, bukan nilai “kerja” yang menjadi landasan bagi penentuan upah, melainkan tingkat kebutuhan paling minimum buruh.Mitos 3: Upah harus disesuaikan dengan Hukum Pasar
 Adanya negosiasi upah dan diakuinya anggapan umum bahwa kerja adalah sebuah “komoditi” menimbulkan kesalahan yang ketiga, yakni anggapan bahwa dalam penentuan nilai kerja (=upah) berlaku hukum pasar, yakni permintaan dan penawaran. Padahal, dalam pengalaman praktek sehari-hari serikat buruh, bukan hukum pasar ini yang berlaku dalam perundingan. Melainkan di mana serikat buruhnya kuat, upah dan jaminan sosial lainnya pasti diberikan secara penuh – tidak jarang bahkan masih dilebihkan.

Namun, di mana serikat lemah, hampir bisa dipastikan bahwa kesejahteraan juga tidak terjamin. Selain dari persoalan kekuatan serikat, yang artinya seberapa kuat posisi tawar buruh, upah yang tinggi biasanya ditemui di perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan keuntungan luar biasa besar. Pada kasus seperti ini, pengusaha membagi sedikit keuntungan yang diperolehnya pada buruh. Dengan kata lain, tinggi-rendahnya upah tidak tergantung pada pasokan dan permintaan ketenagakerjaan, melainkan pada seberapa mampu buruh menekan pengusaha agar membagi keuntungan mereka pada buruh.

Dengan argumen palsu itu, pengusaha dapat menerapkan berbagai sistem yang menguntungkan mereka. Yang pertama berkaitan dengan masalah “produktivitas”. Dengan alasan bahwa mereka sedang “membeli kerja”, pengusaha berusaha menekan buruh agar berproduktivitas setinggi mungkin. Entah dengan tekanan dan ancaman, atau dengan pemberian insentif, pengusaha berusaha memeras keuntungan semakin banyak dari keringat buruhnya. Padahal, kita sudah lihat bahwa mereka hanya memberi upah sebatas “kebutuhan hidup”. Sekalipun ada insentif, jumlahnya pastilah sangat jauh di bawah nilai tambah yang kita berikan pada pengusaha lewat kerja kita.

Di samping itu, dengan bekerja melebihi batas kemampuan fisik dan mentalnya, seorang buruh justru memperpendek usia produktivitasnya sendiri. Kelelahan memicu penyakit dan penuaan dini. Selain daripada itu, semakin panjangnya waktu yang dihabiskan di tempat kerja (misalnya karena lembur), akan membuat keluarga tidak terurus – satu sumber stress dan tekanan lain bagi kesejahteraan buruh.
Untuk memberi kesan bahwa pengusaha sungguh-sungguh membeli keterampilan, kini  diterapkan komponen upah tambahan berdasarkan sektor. Sektor-sektor yang dianggap membutuhkan ketrampilan tinggi akan mendapatkan upah minimum sektoral yang lebih tinggi dari sektor-sektor industri berteknologi rendah. Peraturan ini tengah diterapkan, misalnya saja, pada sektor otomotif. Namun, ukurannya kemudian menjadi rancu karena penentuan sektoral itu ditentukan oleh seberapa tinggi teknologi yang diterapkan oleh industri – bukan oleh seberapa terampil buruhnya.

Satu pertanyaan sederhana: apakah seorang buruh bangunan yang menggunakan peralatan sekedarnya memang kurang terampil dibandingkan seorang operator robot pembuat mobil? Seorang buruh bangunan harus mengerahkan segenap ketrampilannya untuk membuat bangunannya kokoh dan dapat bertahan lama, sementara seorang operator robot cukup menekan beberapa tombol untuk menggerakkan robotnya. Siapapun yang pernah mencoba memasang sendiri ubin keramik (tanpa memanggil tukang) pasti tahu betapa sulitnya pekerjaan itu, dan betapa pekerjaan yang kelihataannya sederhana itu ternyata membutuhkan ketrampilan yang amat tinggi. Terlebih jika tidak memiliki peralatan yang memadai. Semakin tinggi teknologi, justru tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya semakin rendah.

Dan melalui anggapan bahwa dalam penentuan upah berlaku hukum pasar, kelas pengusaha melancarkan tuduhan bahwa serikat buruh adalah kekuatan yang “mendistorsi pasar”. Sehingga sistem persaingan pasar tidak dapat berjalan dengan lancar. Kenyataan yang kita temui, setelah serikat dibubarkan, pengusaha melakukan tawar-menawar dengan intimidasi: “kalau kamu tidak mau menerima tingkat upah yang kami tawarkan, masih banyak orang lain yang kini menganggur ingin juga bekerja di sini.” Dengan kata lain, “hukum pasar” pada prakteknya adalah
 alat intimidasi agar buruh mau menerima tingkat upah yang murah. Hukum Pasar bukanlah sebuah hukum alam, atau hukum yang berlaku secara objektif, melainkan sebuah akal-akalan karangan pengusaha agar dapat menekan tingkat upah buruh.RN.


Lihat Selengkapnya...

Minggu, 17 Mei 2015

JAM KERJA

pagi pulang sore, sore pulang malam, malam pulang pagi, ya… kesehariann ini pada umumnya dirasaka oleh para kaum pekerja/buruh di perusahaan-perusahaan. Tapi pernahkah anda tau berapa durasi jam kerja anda dalam sehari?

Jam kerja itu apa?

Jam kerja ialah waktu yang telah di atur untuk bekerja Untuk pekerja/buruh yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu dan telah diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.
Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam
2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur..
Ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur resmi (Pasal 85 ayat 2 UU No.13/2003). Pekerjaan yang terus-menerus ini kemudian diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan dalam penerapannya tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift.

Jam kerja lembur itu apa?

Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004). Dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Lalu cara menghitung upah lembur bagaimana ?

Teknis perhitungan upah lembur ini mengacu pada Keputusan Menteri No. 102/MEN/VI/2004, yaitu waktu kerja lembur dan upah kerja lembur memiliki ketentuan sbb ;

1. Perhitungan Upah Lembur didasarkan pada upah bulanan
2. Cara Menghitung upah sejam  adalah 1/ 173 x upah sebulan

Darimana  1/173 ?  perhitungannya sebagai berikut:

Keterangan

Nilai
Jenis
Jumlah jam kerja dalam satu minggu

40
Jam
Jumlah minggu dalam satu tahun

52
Minggu 
Jumlah bulan dalam satu tahun

12
Bulan
Jumlah minggu dalam satu bulan

52 : 12 = 4 1/3
Minggu
Jumlah jam kerja dalam satu bulan

40 X 4 1/3 = 173 1/3
Jam
Jumlah upah dalam satu jam

1/173 X upah sebulan
Rupiah


Pasal 11 KEP.102/MEN/VI/2004, menyatakan :

1.      Apabila kerja lebur dilakukan pada hari kerja maka upah lembur jam kerja pertama dibayar 1.5 x upah sejam, untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar sebesar 2 x upah sejam

2.       Bila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja dan 40 jam seminggu maka upah lembur untuk 7 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 8 dibayar 3x upah sejam dan jam ke 9 dan ke 10 dibayar 4x upah sejam.

Kalau hari libur resmi jatuh pada kerja terpendek maka upah lembur 5 jam pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 6 dibayar 3x upah sejam dan upah lembur ke 7 dan ke 8 dibayar 4 x upah sejam

3.      Bila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam, jam kerja ke 9 dibayar 3x upah sejam dan jam kerja ke 10 dan ke 11 dibayar 4x upah sejam.

Misalkan dalam satu hari kita kerja lembur 1 jam selama satu minggu dan hari kerja kita adalah 5 hari kerja selama satu minggu sedangkan gaji kita satu bulan ialah Rp 4000.000
Maka perhitungannya untuk mencari jumlah jam adalah 1 jam X 5 ( jumlah hari lembur)  X 1,5 (lemburan ke jam 1) = 7,5

Dan perhitungan untuk mencari jumlah besaran upah perjam  adalah 1/173 X 4000.000 =
Rp 23.122
Sedangkan untuk mencari jumlah upah lembur selama satu minggu adalah 7,5 X Rp 23.122 =
Rp 173415     

Nah kalau kerja shift?

Pengaturan  kerja shift diatur dalam UU no.13/2003 mengenai Ketenagakerjaan yang diatur sebagai berikut :
  • Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau badan hukum lainnya (selanjutnya disebut “perusahaan”) ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 jam per-hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat 2 huruf a UU No.13/2003)
  • Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 jam per minggu (Pasal 77 ayat 2 UU No.13/2003).
  • Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40  jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat 2 UU No.13/2003).
Dalam pelaksanaanya, terdapat pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus dan dilaksanakan dalam pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift. Menurut Kepmenakertrans No.233/Men/2003, yang dimaksud dengan pekerjaan yang diljalankan secara terus menerus disini adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha. Contoh-contoh pekerjaan yang jenis dan sifatnya harus dilakukan terus menerus adalah : pekerjaan bidang jasa kesehatan, pariwisata, transportasi, pos dan telekomunikasi, penyediaan listrik, pusat perbelanjaan, media massa, pengamanan dan lain lain yang diatur dalam Kep.233/Men/2003 pasal 2.
Ada pula peraturan khusus yang mengatur mengenai pembagian waktu kerja bagi para Satpam yaitu SKB Menakertrans dan Kapolri Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor   Pol.Kep/04/V/1989.
 Dan juga peraturan khusus mengenai waktu kerja bagi pekerja di sektor usaha energi dan sumber daya mineral yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.234//Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.
Kerja Shift berlaku untuk semua pekerja/buruh?
Menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 dan yang artinya pekerja perempuan diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00) selama ia tidak hamil. 
Perusahaan memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi jika memperkerjakan pekerja/buruhperempuan pada sift malam sesuai dengan Undang-Undang No.13/2003 yang lebih lanjutnya diatur dalam Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

-       Memberikan makanan dan minuman bergizi

Makanan dan minuman yang bergizi harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori, harus bervariasi, bersih dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.

-       Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja perempuan dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki. Pengusaha juga diharuskan menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya. Lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.

Mengenai Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, dan keamanan selama di tempat kerja serta penyediaan angkutan antar jemput diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Lihat Selengkapnya...

Senin, 06 April 2015

Upah layak Nasional jawaban atas politik upah murah.

A.     Mitos-mitos tentang upah

Mitos 1: Upah adalah Harga Keringat Buruh

Pengertian yang banyak diterima umum mengenai upah adalah bahwa “upah” merupakan imbalan dari kerja yang diberikan buruh pada pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha “membeli” kerja buruh. Namun argumen yang masuk akal ini dan bersahaja ini sesungguhnya mengandung banyak kesalahan dan akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja.

Mari kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini. Pertama, kerja bukanlah komoditi (barang dagangan) seperti yang biasa kita kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita. Namun, demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses produksi itu menjadi sebuah tambahan nilai pada produk yang dihasilkan. Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan pada majikan kita.

Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia akan membayar sebesar nilai yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika kita mau ambil kesejajaran dengan agak menyederhanakan persoalan, kita bisa membandingkan proses pembentukan harga ini dengan harga benda-benda aji yang konon dapat memberi kekayaan pada pemiliknya. Sebuah keris yang disebut bertuah dapat dihargai jutaan, bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli berkeyakinan bahwa besi aji itu dapat memberinya kekayaan. Namun, buruh (yang sudah pasti akan memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta rupiah – melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya melainkan membeli tenaganya untuk digunakan menghasilkan nilai tambah (nilai lebih)
Lihat Selengkapnya...