Siaran Pers GBI, 18 April 2016.
Sidang Eksepsi-- Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menilai rekayasa pidana pada 23 buruh
muncul karena mereka menolak liberalisasi ekonomi. Eksepsi berjudul,
“Menolak PP Pengupahan, Aktivis Dikriminalisasi,” tersebut menyampaikan
peraturan PP Pengupahan mengorbankan rakyat banyak.
Dalam
sanggahannya, buruh mempertanyakan wewenang kepolisian untuk
mempidanakan peserta aksi di malam hari. Buruh menilai aksi yang
mendukung pemerintahan Jokowi tidak dibubarkan, namun aksi yang
mengkritik pemerintahan justru dipidanakan. Buruh Indonesia
mempertanyakan kenapa polisi tidak mempidanakan peserta aksi 1000 lilin
pendukung Jokowi pada 19 Oktober 2014 yang dilakukan pada malam hari.
Lebih lanjut, buruh menilai tebang pilih itu dilakukan karena
pemerintahan Joko Widodo itu ingin menegakan prinsip pasar bebas yang
menindas buruh. “Dalam agenda Neoliberalisme, hukum dibuat dan digunakan
oleh penguasa untuk melanggengkan praktek penindasan atas nama Negara
dan Kekuasaan,” tulis eksepsi yang dibacakan Tim Advokasi untuk Buruh
dan Rakyat (TABUR) pada sidang 23 buruh di pengadilan negeri Jakarta
Pusat pada Senin, 18 April 2016.
Kepolisian Daerah Metro Jaya
menangkap 23 peserta dan 2 pendamping aksi unjuk rasa penolakan PP
Pengupahan pada 30 Oktober 2015 dengan alasan waktu demonstrasi. Tidak
hanya itu, polisi tanpa identitas jelas melakukan pemukulan dan
penganiayaan pada para buruh. “Para Pejuang Buruh yang sekarang
dijadikan korban kriminalisasi adalah mereka-mereka yang berjuang demi
harkat dan martabat dirinya dan keluarganya dalam menuntut upah dan
kesejahteraan,” imbuh tim kuasa hukum.
GBI juga menilai dakwaan
berdasarkan pasal 216 dan 218 KUHP tidak berdasar karena hukum yang
mengatur aksi unjuk rasa adalah UU 9/1998 tentang. UU tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur batas
waktu unjuk rasa. Dakwaan dengan pasal 216 beralasan buruh menentang
aparat karena tidak tunduk pada perintah pembubaran berdasar batas waktu
pada Peraturan Kepala Kepolisian 7/2012 yang tingkatnya di bawah
undang-undang. “Maka unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan pada
malam hari bukan merupakan tindak pidana dan tidak bisa dipidana dengan
alasan telah melewati Pukul 18.00 Wib,” tulis tim TABUR dalam eksepsi.
Lebih jauh lagi, korban kriminalisasi Dian Septi Trisnanti menyebut
penindasan pada wong cilik tersebut berkebalikan dengan perlakuan
pemerintahan PDI-P itu pada pemodal. “ Berkebalikan dengan kebijakan
upah murah kepada kami, pemerintah Jokowi memberi berbagai kemudahan
kepada para investor melalui paket kebijakan ekonomi dari jilid 1 hingga
jilid 6,” sebut aktivis buruh perempuan tersebut. Alhasil, tren
kebijakan itu akan terus memiskinkan rakyat di negerinya sendiri.
Dalam penutup eksepsinya, 23 buruh korban kriminalisasi meminta majelis
hakim menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum. “Menyatakan surat
dakwaan penuntut umum nomor Reg. Perkara: PDM-30/JKT.PST/02/2016 sebagai
dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau
setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” tulis petitum eksepsi 23 buruh.
GBI terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI),
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi
Gani, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi
Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan terdiri dari beberapa Federasi
Buruh (FSPASI, SBSI 92, FSUI, FGSBM)
Narahubung:
Michael, Pimpinan kolektif KPBI (GBI) +62 812-9885-3283
Kahar S. Cahyono Juru Bicara KSPI (GBI) 085945731398
Eny, LBH Jakarta (TABUR) +6285711457214
Hesty, KPBI (TABUR) +6282372365009
Michael, Pimpinan kolektif KPBI (GBI) +62 812-9885-3283
Kahar S. Cahyono Juru Bicara KSPI (GBI) 085945731398
Eny, LBH Jakarta (TABUR) +6285711457214
Hesty, KPBI (TABUR) +6282372365009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar