Rabu, 20 April 2016

"Kenapa Pendukung Jokowi Boleh Demo Sampai Malam, Buruh Tidak..?"

Siaran Pers GBI, 18 April 2016.
Sidang Eksepsi-- Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menilai rekayasa pidana pada 23 buruh muncul karena mereka menolak liberalisasi ekonomi. Eksepsi berjudul, “Menolak PP Pengupahan, Aktivis Dikriminalisasi,” tersebut menyampaikan peraturan PP Pengupahan mengorbankan rakyat banyak.
Dalam sanggahannya, buruh mempertanyakan wewenang kepolisian untuk mempidanakan peserta aksi di malam hari. Buruh menilai aksi yang mendukung pemerintahan Jokowi tidak dibubarkan, namun aksi yang mengkritik pemerintahan justru dipidanakan. Buruh Indonesia mempertanyakan kenapa polisi tidak mempidanakan peserta aksi 1000 lilin pendukung Jokowi pada 19 Oktober 2014 yang dilakukan pada malam hari.
Lebih lanjut, buruh menilai tebang pilih itu dilakukan karena pemerintahan Joko Widodo itu ingin menegakan prinsip pasar bebas yang menindas buruh. “Dalam agenda Neoliberalisme, hukum dibuat dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan praktek penindasan atas nama Negara dan Kekuasaan,” tulis eksepsi yang dibacakan Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat (TABUR) pada sidang 23 buruh di pengadilan negeri Jakarta Pusat pada Senin, 18 April 2016.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap 23 peserta dan 2 pendamping aksi unjuk rasa penolakan PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 dengan alasan waktu demonstrasi. Tidak hanya itu, polisi tanpa identitas jelas melakukan pemukulan dan penganiayaan pada para buruh. “Para Pejuang Buruh yang sekarang dijadikan korban kriminalisasi adalah mereka-mereka yang berjuang demi harkat dan martabat dirinya dan keluarganya dalam menuntut upah dan kesejahteraan,” imbuh tim kuasa hukum.
GBI juga menilai dakwaan berdasarkan pasal 216 dan 218 KUHP tidak berdasar karena hukum yang mengatur aksi unjuk rasa adalah UU 9/1998 tentang. UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur batas waktu unjuk rasa. Dakwaan dengan pasal 216 beralasan buruh menentang aparat karena tidak tunduk pada perintah pembubaran berdasar batas waktu pada Peraturan Kepala Kepolisian 7/2012 yang tingkatnya di bawah undang-undang. “Maka unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan pada malam hari bukan merupakan tindak pidana dan tidak bisa dipidana dengan alasan telah melewati Pukul 18.00 Wib,” tulis tim TABUR dalam eksepsi.
Lebih jauh lagi, korban kriminalisasi Dian Septi Trisnanti menyebut penindasan pada wong cilik tersebut berkebalikan dengan perlakuan pemerintahan PDI-P itu pada pemodal. “ Berkebalikan dengan kebijakan upah murah kepada kami, pemerintah Jokowi memberi berbagai kemudahan kepada para investor melalui paket kebijakan ekonomi dari jilid 1 hingga jilid 6,” sebut aktivis buruh perempuan tersebut. Alhasil, tren kebijakan itu akan terus memiskinkan rakyat di negerinya sendiri.
Dalam penutup eksepsinya, 23 buruh korban kriminalisasi meminta majelis hakim menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum. “Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor Reg. Perkara: PDM-30/JKT.PST/02/2016 sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” tulis petitum eksepsi 23 buruh.
GBI terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan terdiri dari beberapa Federasi Buruh (FSPASI, SBSI 92, FSUI, FGSBM)
Narahubung:
Michael, Pimpinan kolektif KPBI (GBI) +62 812-9885-3283
Kahar S. Cahyono Juru Bicara KSPI (GBI) 085945731398
Eny, LBH Jakarta (TABUR) +6285711457214
Hesty, KPBI (TABUR) +6282372365009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar